Sudah 3 hari sejak diriku di tinggal Neza, entah kenapa perasaan ini masih terlalu kuat untuk mengharapkan dia kembali. Tetap saja, saat merasa ingin menghilangkan ingatan tentang dirinya. Tiba-tiba dia selalu hadir dalam setiap lamunanku, dalam setiap tegukan kopi hangat malam hari. Entah mungkin diriku belum terbiasa tanpa dirinya.
Seperti biasa, saat sore hari. Diriku sering duduk di balkon rumah, melihat senja yang indah, melihat sunset yang begitu cantik. Bersama segelas kopi hangat dan sebuah laptop yang selalu menjadi media untuk diriku mencari tahu tentang Neza, yah bisa di bilang setelah putus, diriku menjadi stalker. Walaupun setiap diriku melihat akun sosmed dirinya yang hanya bisa membuat diriku cukup merasakan patah hati untuk kesekian kalinya.
Tapi sayangnya sore ini cuaca terlalu mendung, sepertinya akan segera turun hujan. Dan diriku cukup kecewa, karena senja yang jingga telah tertutupi oleh awan gelap.
Hujan mulai turun dari langit yang gelap itu, membuat bumi menjadi basah dan yang paling tidak menyenangkan membuat tumpukan kenangan yang inginku kubur dalam-dalam kembali muncul ke permukaan. Seketika diriku melamunkan sesuatu, sesuatu kenangan tentang hujan, tentang tawa, candaan, dan yang paling menyebalkan semua itu tentang dia.
Dalam lamunanku tentang hujan, teringat kembali saat bersama neza. Malam itu diriku sedang merasa bosan di rumah, melihat bintang-bintang yang tampaknya tidak muncul. Entah apa langit malam ini mendung, atau karena light pollution?
Diriku kembali ke dapur untuk membuat segelas kopi hangat. Beberapa saat sedang mencari kopi di dapur, tersadar ternyata kopi yang biasa aku minum telah habis. Karena sekarang telah jam 00.00 dini hari, tidak mungkin diriku mencari warung di dalam komplek, lantas diriku bergegas ke depan komplek hanya sekedar mencari kopi, ya sekalian ingin melakukan kegiatanku setiap harinya, kegiatan berjalan di bawah langit malam.
Sesampainya diriku di depan komplek. Diriku mencoba melihat sekeliling jalan besar, untuk memastikan masih ada warung yang buka di jam setengah satu dini hari. Ternyata hanya ada satu warkop, cukup bersyukur sih karena disana aku masih sempat merasakan kopi hangat untuk melawan dinginnya malam ini.
Sesampai di warkop itu, aku memesan segelas kopi hitam. Entah mungkin bisa di bilang kopi yang biasa diriku minum ini mirip sekali seperti kopi untuk bapak-bapak atau kakek-kakek, tapi tetap saja, kopi hitam memang tiada duanya. Kopi hitam pun telah di letakkan di atas meja. Diriku yang notabennya sedang menunggu agar kopi itu sedikit berkurang panasnya. Selagi menunggu kopi itu, diriku menyempatkan untuk memainkan gadget.
"Pak kopi mocca-nya satu dong." Suara dari arah belakangku, suara yang samar-samar, seperti orang yang ku kenal.
"Neza? Ngapain lu malem-malem keluar? mana cuma pake itu doang pula." Sambil menunjuk pakaian yang dia pakai hanya sebatas kaos pendek dan celana hotpants-nya.
"Iya nih Law, gue tadi baru kebangun eh terus ngidam kopi, jadinya keluar nyari warkop yang masih buka." Neza berkata dengan sedikit uap yang keluar dari mulutnya. Memang malam ini begitu dingin, apa lagi cuaca malam ini sedikit mendung.
Kami pun duduk bersebelahan di bangku panjang itu, menunggu kopi agar sedikit berkurang panasnya, agar bisa di nikmati perlahan demi perlahan. Cukup membuat suasana sedikit canggung sih, kita hanya terpaut pada gelas kopi yang berada di depan kita, dan sesekali kita masing-masing mencuri-curi pandang.
Sesekali diriku memergoki-nya ketika diam-diam menatapku, dan saat itu dia hanya sekedar tersenyum. Bisa ku hitung saat dia pertama tiba ke kedai ini sampai saat ini, sudah sekitar 7 kali dia tersenyum. Senyum yang manis, yang mengalahkan manisnya kopi hitam yang sedari tadi ku sruput secara perlahan.
"Nez? Lu lagi gak gila kan? Serem gue liat lu senyum-senyum terus dari tadi." Diriku berkata sedikit menggoda, dan dengan sedikit memasang senyum manis untuk dia.
"Enggak kok Law, gue emang lagi mau senyum-senyum aja. Btw gimana sekolah lu?" Pembukaan obrolan yang cukup basi, tapi entah kenapa ketika berbicara bersamanya, seakan yang tidak penting menjadi sesuatu yang enak untuk di bahas.
Cukup lama kita berbincang, hingga lupa waktu. Tak terasa waktu telah menunjukan pukul 02.15 dini hari. Tak lama setelah kita berhenti berbicara, diriku menjadi sangat tertarik dengan sorot matanya, yang begitu hangat, di tambah dengan senyum termanisnya. Oh tuhan kenapa jatung ini? Tidak seperti biasanya, kali ini detak jantung seperti berpacu kencang, membuat sekitar pipi ini menghangat walaupun cuaca begitu dingin.
Entah kenapa tiba-tiba diriku melakukan eyes contact dengannya, bibir kita seolah hanya bisa terdiam. Hanya sekedar mata yang membuat diriku melamunkan sesuatu yang benar-benar hangat. Dan akhirnya kita mengakhiri eyes contact karena tiba-tiba hujan turun dengan deras.
Ah sial, kita berdua terjebak di sebuah kedai kopi. Waktu pun telah menunjukan jam 03.00 dini hari, dan sialnya pun begitu terasa dingin di tempat ini. Jujur sih mungkin bukan diriku yang merasa kedinginan tapi Neza. Apa lagi pakaian yang dia kenakan begitu tipis.
"Nez, kita kejebak hujan nih."
"Iya nih, mana udah jam segini. Aku takut orang rumah nyariin." Di situpun diriku setengah kaget, bahasa yang tadi lo - gue sekarang menjadi aku - kamu.
"Yaudah lah, palingan orang rumah juga ngertiin kok." Diriku sedang mencoba bersikap biasa saja ketika dia mulai menggunakan bahasa aku - kamu
Melihat dirinya begitu kedinginan, akhirnya diriku memberikan sweater yang sedang kukenakan saat ini. Biar lah aku merasa dingin sesaat, yang paling penting menurut ku Neza cukup mendapatkan kehangatan, walaupun hanya sekedar sweater tipis yang masih bisa tertembus angin dingin malam ini. Ya setidaknya rasa dingin malam ini akan sedikit berkurang untuknya.
Ketika diriku hendak memberi sweeter itu. Tiba-tiba Neza menarik tanganku, keluar dari tempat kita berteduh, membuat seluruh tubuh kita basah. Hujan yang turun dengan deras, dinginnya angin malam. Ah semua itu telah kalah dengan hangatnya genggaman Neza.
"Nez! Lu gila yak? Ini jam 3 pagi, dan lo ngajak gue mandi ujan? Dan gue sih gak masalah, tapi lo nanti sakit Nez." Diriku berkata dengan nada khawatir yang cukup cepat. Dia pun hanya tersenyum sambil menatap ku dengan dalam.
"Law, pliss malem ini aja. Tolong temani aku melewati dini hari ini, aku ingin menunggu fajar bersama kamu."
"Nez, tapi aku gak mau kamu.." Diriku hanya bisa terdiam, seperti patung. Tanpa sepatah kata, dan pipi ini pun mulai menghangat kembali. Neza orang yang membuatku mematung di tempat, hanya karena ciuman di pipi.
"Law, tenang. Kamu gak perlu sekhawatir itu kepadaku. Selama aku masih bisa melihat kamu, aku tidak akan mudah sakit, karena kamu adalah obat dari segala sesuatu yang menyakitiku."
Diriku kembali mematung ketika dia berkata seperti itu. Tuhan bisa kah kau menghentikan waktu ini sebentar? Untuk diriku menjernihkan pikiran ku ini, yang sedari tadi belum percaya dengan apa yang dia lakukan. Kembali Neza merangkul lengan ku, melewati jalan komplek yang sunyi, di bawah hujan pagi yang begitu dingin. Tapi entah kenapa saat bersama Neza, dinginnya hujan ini tidak begitu terasa. Hangatnya rangkulan Neza mengalahkan semua dingin itu.
"Gubrakkk." Neza tiba-tiba saja terjatuh di kubangan air hujan. Diriku mencoba menahan tawa itu, namun tidak bisa, tawa ku pun membuat suasan dingin itu menjadi semakin hangat. "Arggggh, sial aku terpleset." dia berbicara dengan nada kesal, yang semakin membuat diriku tertawa lepas.
"Kamu gapapa?" Tanya ku dengan nada yang sedang menahan tawa.
"Gapapa kok, bantuin diri dong."
"Yaudah sini, pegang tanganku." sambil menyodorkan tangan ku
"Gubrakk." Neza begitu jahat, dia tidak terima ketika diriku mentertawakannya ketika jatuh, dan dia pun hanya tertawa terbahak-bahak sambil mengatakan "Kalo aku jatuh, kamu harus ikutan jatuh juga." Dengan sedikit menunjukan muka isengnya di campur dengan senyum yang bisa membuat diriku mati mematung.
Tak lama setelah, diriku mencoba membangunkannya sekali lagi. Tanpa sadar dia pun meringis kesakitan, munkin kakinya terkilir. Aku yang sedari tadi tidak merasa kasian dengannya, akhirnya dia aku gendong ke tepian trotoar untuk sekedar di pijit agar tidak terlalu sakit.
"Bodoh, makannya hati-hati, klo udah gini kan kaki kamu juga yang sakit." Diriku berbicara dengan nada penuh dengan ke khawatiran.
"Maaf, namanya juga kecelakaan, gak tau kalo jalan tadi begitu licin." Berbicara dengan mimik muka yang merasa bersalah.
"Yaudah, sekarang kamu naik ke punggungku. Setidaknya sampe rumah kamu, jangan di jalanan seperti ini. Apa lagi hujan semakin deras."
Neza pun mengiyakan apa yang aku tawarkan tadi. Huft cukup berat juga ternyata dia, dan sesekali tangan ku terpleset saat menggendong dia. Cukup susah menggendong orang saat hujan seperti ini. Sepanjang jalan kita hanya mentertawakan kejadian jatuh tadi, hingga tak terasa satu blok komplek lagi sudah berada di rumahnya.
Saat tiba di depan gerbang rumahnya, aku langsung pamit, karena menurut ku jam segini bertamu ke rumah orang cukup tidak enak untuk di lihat tetangga. Ketika diriku pamit, Neza dengan cepat menggenggam tangku, memelukku dengan tubuh basahnya. "Nez, aku pulang yak, gak enak jam segini bertamu kerumah cewe." Diriku berkata sambil perlahan-lahan melepaskan pelukannya.
Akhirnya Neza pun menganggukan kepala yang bertanda mengizinkan aku untuk pulang. Sebelum benar-benar kita terpisah, Neza menarik tangan ku sekali lagi, menjinjitkan badannya, lalu mencium kening ku dengan berkata "Terima kasih Law, buat malam ini." Dengan senyum manisnya, senyum yang membuat diriku selalu mematung, dan kali ini pun telah 14 kali Neza memberikan senyum manisnya di depanku. Entah lah, tidak ada habis-habisnya diriku menghitung hal-hal yang tidak penting seperti ini. Tapi bersamanya menurutku selalu menjadi yang terpenting.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar